Mengenal Maha Guru dari Tanah Bugis


BIOGRAFI TOKOH FAVORIT DI LUAR PSIKOLOGI

ANREGURUTTA KH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE
    

Oleh ST. NUR AZISAH (1871040021)


BIOGRAFI ANREGURUTTA KH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE
A.                Kelahiran Dan Masa Kecilnya
Kehijauan yang menghampar ditingkahi kicau burung berbunyi, melukiskan kesuburan dan kedamaian. Itulah suasana yang tergambar di desa Ujung’E Kecamatan Tanasitolo, sebuah kampong yang terletak sekitar 7 km dari kota Sengkang. Di kampong itu, pada hari selasa sianhg tahun 1900, lahir seorang laki-laki dari pasangan yang berdarah bangsawan Bugis. Ayah bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan Ibunya Puang Candara Dewi. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Ambo Dalle. Dalam bahasa bugis, Ambo berarti  bapak dan Dalle  berarti rezeki. Jadi, Ambo Dalle berarti sumbernya rezeki. Ketika memasuki sekolah agama, nama Ambo Dalle ditambahkan dengan Abdur Rahman.
Ambo Dalle dimasukkan mengaji tajwid (massara’ baca) pada pengajian yang diasuh oleh Puang Caco, kakeknya sendiri yang kebetulan adalah Imam Ujung’E. Selain belajar, ia juga membantu kakeknya mengajarkan anak-anak lainnya. Kemudian, Ambo Dalle melanjutkan pelajaran tajwidnya (baca pituE), menghafal Al-quran, serta belajar Nahwu dan Sharaf pada H. Muhammad Ishaq. Karena Ambo Dalle merasa haus akan ilmu, sementara kampungnya belum ada pendidikan formal, ia berangkat ke Sengkang  yang berjarak 7 km dari kediamannya. Ia masuk di sekolah volk-school (sekolah desa 3 tahun) dan kursus Bahasa belanda di HIS ( Hollands Inlands Schoo), sebuah sekolah berbahasa Belanda. Yang dapat diterima di sekolah tersebut adalah kaum bangsawan. Ambo Dalle muda nyaris tak punya waktu untuk bersantai di masa mudanya. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk belajar. Kalaupun ada waktu luang yang tersisa, itu digunakan untuk berolahraga. Olahraga yang digemarinya adalah sepakbola.
Waktu itu, banyak ulama yang asli Wajo yang belajar di Mekkah, pulang kekampung halamanya dan mendirikan pengajian. Pelajaran yang diberikan diantaranya, Tafsir, Fiqhi, Nahwu, dan Sharaf. Ambo Dalle tentu saja tak melewatkan kesempatan ini, untuk menimbah ilmu dari ulama-ulama tersebut dengan mengikuti pengajian mereka yang diberikan dengan cara halakha (duduk bersila).  Ambo Dalle tidak merasa puas dengan mempelajari bidang agama saja. Maka ia pun menginggalkan Wajo menuju kota Makassar dan belajar pada sekolah guru yang dilaksanakan oleh Syarakat Islam (SI). Setelah tamat ia kembali melanjutkan memperdalam  ilmu agamnya di Sengkang.

B.                 Bergabung ke MAI Sengkang
Suatau ketika, H. As’ad (Anregurutta Sade’) mengunjungi tempat Ambo Dalle memberikan pengajian Alquran. Santrinya cukup banyak. Saat itu, selain mengajarkan mengaji, Ambo Dalle juga telah diangkat sebagai jurutulis pembantu pada kerajaan bawahan (Sullewatang) Tancung. Ini karena ia punya kelebihan diantara kelebihan lainnya, yakni kemahiran dan kecepatan tangan kirinya menulis indah sama dengan tangan kanannya.
Melihat Ambo Dalle, Anregurutta As’ad mempunyai firasat bahwa orang ini bakal menjadi ulama besar. Ia lantas mengajak Ambo Dalle bergabung dalam pengajiannya, hal mana ternyata diterima oleh gurutta. Sejak itu, ia mengikuti pengajian Anregurutta As’ad dengan tekun. Rupanya, beliau sering mengamati secara diam-diam santrinya yang satuini. Dalam penglihatannya, Ambo Dalle adalah murid yang cerdas. Ia pun diangkat menjadi asisten pengajar oleh Anregurutta As’ad karena ilmunya dianggap setaraf dengan sang guru.“ Mulanya saya sekelas dengan Gurutta, namun beliau sering naik kelas lebih cepat karena sangat cerdas”, kata AG.H.M.Abduh Pabbajah, salah seorang teman seangkatannya di Sengkang.
Arung Matowa Wajo menemui Anregurutta As’ad menyarankan agar sistem halaqah (mengaji tudang) yang sudah berkembang ditingkatkan dengan membuka madrasah atau sekolah, usulan itu pun diterima oleh Anregurutta. Pada tahun 1930 dibukalah Madrasah yang kemudian bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diberi lambing yang diciptakan sendiri oleh Ambo Dalle atas persetujuan Anregurutta As’ad dan ulama lainnya.
Pada saat itu Ambo Dalle memasuki  babak baru dalam kehidupannya sebagai manusia. Tahun 1930 ia memasuki kehidupan rumah tangga dengan mengawini Anri Tenri. Namun, karena tidak membuahkan keturunan, bahtera rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Ia lalu kawin dengan Puang Sohrah, yang tak lama kemudian diceraikannya juga. Selanjutnya, Ambo Dalle menikah dengan Andi Selo yang masih ada hubungan dengan Anregurutta As’ad. Dari mereka Ambo Dalle tidak memperoleh seorang keturunan pun.
Tahun 1935, Ambo Dalle untuk perlama kalinya menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ia menetap selama sembilan bulan untuk memperdalam ilmu agama yang pernah dipelajari di Wajo. Ketika kembali ke Sengkang, pesantren yang dibinanya itu semakin popular. Sejak saat itu ia dipanggil Gurutta  oleh para santri, artinya guru kita.


C.                 Hijrah Ke Mangkoso
H. M. Yusuf Andi Dangong Petta Soppeng, raja terakhir dari kerajaan Soppeng, bermaksud mendirikan perguruan yang sama seperti di Sengkang. Kerena melihat kondisi agama masyarakat disana mencemaskan, contoh kecilnya masjid yang didirikan seringkali kosong dari jamaah. Merutunya, untuk menyemarakkan masjid perlu didirikan lembaga pendidikan. Dan MAI Sengkang lah harapannya.
Petta Soppeng lalu menyuruh atasannya untuk menjumpai Anregutta As’ad untuk mengutarakan permintaanya. Melihat kegigihan Arung Soppeng Riaja itu, Anregurutta As’ad akhirnya luluh juga. Diserahkanlah kepada Gurutta Ambo Dalle untuk mengambil keputsan, hal mana diterima baik oleh beliau.
Hari Rabu tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 M, Gurutta Ambo Dalle melalui babak baru Sengkang, hijrah ke Mangkoso bersama istri, kedua orang tua, serta beberapa orang santri seniornya. Pemerintahan kerajaan sudah menyiapkan segala kebutuhan, mulai dari rumah, padi, hinggah nafkah bulanan. Di Mangkoso, calon santri sudah menunggu sehingga hari itu juga beliau langsung memulai pengajian perdana di Masjid Jami Mangkoso. Pesantren yang baru dibuka itu diberi nama yang sama dengan pesantren Anregurutta As’ad di Sengkang, yaitu Madrasah Arabiyah Islamiayah (MAI) meski keduanya tidak ada hubungan organisasi.
Sejak tingga di Mangkoso, banyak kejadian luar biasa terjadi. Salah satunya saat membaca kitab langsung bisa dihafalnya. Beliau juga pernah mengalami turunanya Lailatul Qadr pada 27 Ramadhan tahun pertama mukimnya di Mangkoso. Peristiwa spiritualnya luar biasa yang senantiasa dinanti oleh umat Islam itu ditandai oleh seberkas cahaya yang menemani setiap sudut masjid. Masyarakat yang kebetulan berjaga malam itu mengira bahwa masjid terbakar. Gurutta mendoakan agar diberi ilmu yang berberkah dan tujuan generasinya menjadi ulama besar Ahlussunnah Wal Jamaah.
Selang beberapa lama tinggal di Mangkoso, Gurutta lalu bercerai dengan istri ketiga yang diboyong dari Sengkang, Andi Selo. Gurutta kemudian kawin dengan St. Marhawa (Puang Hawa), putri saudara sepupu sendiri. Dari istri terakhir ini beliau memperoleh empat orang putra, namun yang sulung maninggal dunia saat masih bayi.


D.                Mendirikan DDI
Pesantren MAI yang dibinanya dengan dibantu oleh beberapa orang santri seniornya terus berkembang. Pertemuan sejumlah ulama pendukung MAI di Watang Soppeng pada tanggal 7 februari 1947, disepakati membentuk sebuah organisasi, yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Organisasi baru diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI). Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle lalu didaulat menjadi ketua. Ia pun dipercaya untuk membuat lembaga organisasi itu. Sejak saat itu MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berganti menjadi DDI, sekaligus Mangkoso dijadikan pusat organisasi.
Sementara itu, pada tahun 1949, istri terakhirnya Puang Hawa melahirkan putra kedua, Muhammad Ali Rusdy. Dalam waktu yang hampir bersamaan, datang tawaran dari pemerintah Swapraja Mallusetasi yang memintanya menajdi Kadhi di pare pare. Tawarannya diterima oleh Gurutta. Sambal tetap memimpin pesantrennya di Mangkoso.
E.                 Hijrah Ke Pare-Pare
Tahun 1850 Gurutta Secara Resmi memboyong keluarganya pindah ke Pare-Pare, setelah, Menyerahkan kepepimpinan pesantren kepada santri terdekatnya, Muhammad Amberi Said. Dengan demikian, pusat organisasi pun dipindahkan, sedangkan Mangkoso diberikan status cabang otonom.
F.                  Karya-Karyanya
Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle adalah seorang pendidik dan ulama yang produktif. Tidak kurang dari empat puluh judul kitab telah ditulisnya. Kitab-kitab tersebut ada yang berbahasa Arab, Bugis, dan Indonesia. Antaranya, Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khaliq adalah kitab tasawuf yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan taat cara pengabdian serta mendekatkan diri kepada-Nya. Kitab tersebut ditulis menggunkan Bahasa Bugis. Dalam kitab Al-Risalah fi al-Akaid al-Islamiyah yang ditulis tiga jilid dalam Bahasa Arab, mengandung pelajaran dasar tentang sifat-sifat wajib, mustahil, bagi hamba Allah SWT, surga, neraka, dan lain-lain. Mengenai pemali yang banyak dikalangan masyarakat, dibahas dalam kitab Syifa al-Afidah min al-Tasyaum wa al-Tiyarah yang berbahsa Bugis dan Indonesia. Mursyid al-Tullab dalam tulisan Bahasa Arab berbentuk syair Arab sebanyak 500 bait menerangkan tentang kaidah-kaidah dasar Usul Fiqhi. Tentang akhlak, Gurutta menuliskan Hilyat al-Syabab yang menjelaskan tentang akhlak kepada Allah SWT, secara manusia, dan perlunya merawat badan.
Dalam bidang Arab, Nahwu-Sharaf, dan Balagah diuraikan dalamkitab Mufradat al-Arbiyyah, Irsyad al-Tullab, Tanwir al-Tullab, dan sejumlah kitab lainnya. Sedangkan penuntundalam berdiskusi Gurutta menulis Miftah al-Mazakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) Gurutta membahasanya dalam kitab Miftah al-Fuhum fi Mi’yari al-Ulim.
Itulah sebagian dari karya-karya Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. Salah satu dari kelebihan kitab karangan gurutta adalah isinya tidak ada yang terlalu tebal dan isinya pun mudah dimengerti untuk orang yang awam.
G.                Prinsip Hidup dan Kepribadian Gurutta
“Mudahkanlah urusan orang lain denganmu jika kamu ingin Allah SWT memudahkan urusanmu”, demikian Gurutta sering berpesan pada santri-santrinya. Pesan ini salah satu prinsip hidup beliau dalam melayani umat, baik pejabat, masyarakat biasa, maupun santrinya. Salah satu modal utama Gurutta dalam membangun DDI adalah keikhlasan, pengorbanan, dan pengapdiannya tanpa pamrih. Gurutta menekankan bahwa ketiga sifat itulah yng bisa membuat DDI eksis. Bahkan, untuk memelihara niat ihklas santri-santrinya, Gurutta tidak mengizinkan santri untuk mengikuti ujian negara karena khawatir kalua niat santri menuntut ilmu hanya karena mengharapkan selembar ijazah.  
Selain dari didikkan agama, Gurutta lahir, tumbuh besar dalam setting budaya Bugis Wajo yang kaya akan petuah-petuah Lontara. Faktor tersebut dominan membentuk sifat dan kepribadian Gurutta. Dalam perspektif budaya. Setidaknya ada enam nilai utama yang dimiliki seseorang yaitu Lempu’, Acca, Assitinajang, Getteng, Reso, dan Siri.
Dalam perkataan Bugis, jujur disebut lempu’. Menurut arti logatnya, yaitu lurus. Mereka yang pernah tinggal bersama Gurutta, mengakui bahwa tidak pernah mendengar Gurutta yang dusta atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kata dan perbuatan,  taro ada taro gau. Acca menurut Lontara bukan sekedar pintar atau pandai, tetapi cendekia, intelek, dan arif. Lontara mencatat sejumlah toaccai, seperti La Pagala Nene Mallomo, Arung Bila, Amanna Gappa. Mereka adalah cendekiawan, intelektual, ahli pikir di zamannya. Bila mana dilanjutkan ke abad sekarang, tentu Gurutta layak ditulis sebagai salah satu diantaranya. Kepatutan, kepantasan, kelayakan adalah terjemahan dari kata assitinajang. Lontra mengatakan “Potudangmgi tudammu, puonroi onromu”. Artinya, duduki kedudukanmu, tempati tempatmu. Seseorang yang tau diri, mengerti assitinajang tidak akan menduduki suatu jabatan kalua merasa ia tidak pentas untuk jabatan itu.
Getting jika di artikan berarti keteguhan. Selain dari keteguhan kata ini pun bermakna keyakinan, kuat da keteguhan dalam pendirian. Gurutta telah membuktikan sikap ini misalnya, selama delapan tahun ia berada dalam kekuasaan DI/TII yang beraliran wahabi. Namun, Gurutta tetap teguh dalam mazhab imam Syafi’i yang dianutnya.
Reso atau usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai-nilai kejujuran, kepatutan, dan keteguhan. Gurutta adalah orang yang produktif pekerja keras. Apa yang kita nikmati sekarang adalah reso dari Gurutta. Siri’ mempunyai beberapa penegrtian, diantaranya adalah malu dan harga diri. Orang yang memiliki  siri’ akan menjaga setiap tutur kata dan tingkah lakunya. Gurutta terbukti mampu menjaga dan menegakkan siri’nya. Karena itu, hampir tidak dijumpai kekurangan pada pribadinya.
H.                Pantang Padam sebelum Terang
Tanggal 8 November 1996, Gurutta jatuh sakit. Karena sakitnya dianggap parah, beliau dirawat di ICU di salah satu rumah sakit di Makassar. Rupanya, sakit kali ini merupakan sakit yang terakhir. Setelah beberapa hari menjalani perawatan, pada tanggal 29 November 1996, saat kaum muslim sedang sholat Jum’at, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle menghembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan semua yang dicintai dan mencintainya, menuju ke dzat yang lebih mencintai. Gurutta dimakamkan di halaman depan Masjid Mangkoso, berdampingan dengan Gurutta H. M. Amberi Said dan Petta Soppeng. Ribuan orang pada proses pemakaman beliau menunjukkan betapa besarnya kecintaan umat kepadanya. Petinggi di Sulawesi-Selatan, mulai dari Gubernur, ketua DPRD, Kapolda, disamping puluhan tokoh lainnya, turut mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya. Dari Jakarta, Presiden, Mendikbud, dan Kasad mengirimkan karangan bunga sebagai tanda duka cita.  
Kini Gurutta telah tiada meninggalkan berbagai karya besar. Namun karyanya yang paling monumental adalah Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) yang di wariskan kepada kita semua. Beliau pun tak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

JENIS-JENIS PENELITIAN PSIKOLOGI

REVIEW : RINGKASAN MATERI SKRIPSI PSIKOLOGI